Sabtu, 02 November 2013

Hadits-Hadits Palsu Tentang Keutamaan Puasa dan Amalan-Amalan di Bulan Muharram

Oleh:  
Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
 

Hadits Pertama:
Imam Ath-Thobroni rahimahullah berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rozin bin Jami’ Al-Mishri Abu Abdillah Al-Mu’addal, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Habib, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Sallaam Ath-Thowil, dari Hamzah Az-Zayyaat, dari Laits bin Abi Saliim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ يَوْمَ عَرَفَةَ كَانَ لَهُ كَفَّارَةَ سَنَتَيْنِ وَمَنْ صَامَ يَوْمًا مِنَ الْمُحَرَّمِ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ ثَلاَثُوْنَ يَوْمًا

“Barangsiapa berpuasa pada hari Arofah maka puasa itu akan menghapuskan (dosa-dosa) selama dua tahun. Dan barangsiapa yang berpuasa satu hari di bulan Muharram maka baginya dari setiap hari (bagaikan berpuasa) 30 hari”. (Dikeluarkan oleh Ath-Thobaroni dalam Al-Mu’jam Ash-Shoghir II/164 no.963).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya PALSU (Maudhu’).
Berkata Syaikh Al-Albani rahimahullah: “Ini adalah hadits PALSU (maudhu’).
Di dalam sanadnya ada dua orang perowi pendusta (pemalsu hadits), yaitu:
1. Sallam Ath-Thowil dan dia adalah pendusta.
Ibnu Khorrosy berkata tentangnya: “Dia seorang pendusta.”
Ibnu Hibban berkata tentangnya: “Dia meriwayatkan hadits-hadits palsu dari para perowi yang tsiqoh (terpercaya/kredibel), dan sepertinya dia yang sengaja memalsukannya.”
Al-Hakim berkata tentangnya pula: “Dia meriwayatkan hadits-Hadits palsu.”
2. Al-Haitsam bin Habib diklaim oleh imam Adz-Dzahabi sebagi orang yang meriwayatkan hadits bathil”. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah I/596 no.412, dan Dho’if At-Targhib wat Tarhib I/154 no. 615).
Hadits Kedua:
Imam Ath-Thobroni rahimahullah berkata: Telah menceritakan kepada kami Yusuf Al-Qodhi dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul A’la bin Hammad An-Narsi, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abdul Jabbar bin Al-Ward, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Ubaidillah bin Abi Yazid, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ لِيَوْمٍ فَضْلٌ عَلَى يَوْمٍ فِي الصِّيَامِ إِلاَّ شَهْرُ رَمَضَانَ وَيَوْمُ عَاشُوْرَاءَ

“Tidak ada satu haripun yang memiliki keutamaan melebihi hari-hari yang lainnya dalam hal berpuasa kecuali bulan Ramadhan dan hari ‘Asyuro’”.
(Diriwayatkan oleh Ath-Thobaroni di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir XI/127 no.11253).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya DHO’IF JIDDAN (Sangat Lemah).
Di dalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Abdul Jabbar bin Al-Ward yang dikatakan oleh Imam Al-Bukhori: “Dia menyelisihi pada sebagian hadits-haditsnya” dan berkata Ibnu Hibban tentangnya: “Dia sering salah dan keliru (wahm).”
Syaikh Al-Albani rahimahulla berkata: “Hadits ini MUNGKAR.” (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah I/453no. 285, dan Dho’if At-Targhib wa At-Tarhib I/155 no. 616).
Hadits Ketiga:
Imam Ath-Thobroni rahimahullah berkata: Telah menceritakan kepada kami Abdul warits bin Ibrahim Abu Ubaidah Al-Askari, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ali bin Abu Tholib Al-Bazzaz, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al-Haishom bin Asy-Syuddakh, dar Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Alqomah, dari Abdullah (bin Mas’ud), dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda:

مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ لَمْ يَزَلْ فِيْ سَعَةٍ سَائِرَ سَنَتِهِ

“Barangsiapa yang melapangkan (nafkah) kepada keluarganya pada hari ‘Asyura, niscaya ia akan senantiasa dalam kelapangan (rizkinya) selama setahun itu”. (Diriwayatkan oleh Ath-Thobrani X/77 no.10007, dan Al-Baihaqi di dalam kitab Syu’abul Iman VIII/312 no.3635)
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya DHO’IF (Lemah).
Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Hadits ini TIDAK SHOHIH.”
Syaikh Al-Albani berkata: “Hadits ini DHO’IF (Lemah). (Lihat tahqiq beliau terhadap Misykat Al-Mashobih, I/434 no.1926).
Di dalam sanadnya ada seorang perowi yang majhul (Tidak dikenal jati dirinya), yaitu: Al-Haishom bin Asy-Syuddakh.
Al-‘Uqoili berkata: “Al-Haishom adalah perowi yang majhul, dan hadits ini tidak mahfuzh.”
Ibnu Hibban berkata: “Al-Haishom meriwayatkan hal-hal yang aneh dan berbahaya, tidak boleh berhujjah dengannya.”
Hadits ini disebutkan pula oleh Ibnul Qoyyim dalam Al-Manar Al-Munif Fi Ash-Shohih wa Adh-Dho’if, I/111 no.223, dan Asy-Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, I/98 no.37).
Hadits Keempat:
Ibnul Jauzi rahimahullah di dalam kitabnya Al-Maudhu’aat , bab Puasa di akhir dan awal tahun (baru Hijriyah) berkata: “Telah memberitahukan kepada kami Muhammad bin Nashir, ia berkata; telah memberitahukan kepada kami Abu Ali Al-Hasan bin Ahmad, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Al-Fawaris, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Umar bin Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin Ayub, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Syadzan, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdullah Al-Harwi, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Quthb bin Wahb, dari Ibnu Juraij, dari Atho’, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الحِجَّةِ ، وَأَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ المُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ المَاضِيَةَ بِصَوْمٍ ، وَافْتَتَحَ السَّنَةُ المُسْتَقْبِلَةُ بِصَوْمٍ ، جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَارَةٌ خَمْسِيْنَ سَنَةً

“Barang siapa yang berpuasa sehari pada akhir dari bulan Dzuhijjah dan puasa sehari pada awal dari bulan Muharrom, maka ia sungguh-sungguh telah menutup tahun yang lalu dengan puasa dan membuka tahun yang akan datang dengan puasa. Dan Allah ta’ala menjadikan kafarat/tertutup dosanya selama 50 tahun.” (Dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam Al-Maudhu’at II/566, Ay-Syaukani dalam Al-Fawa-id Al-Majmu’ah I/96 no.31, dan selainnya).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya PALSU (Maudhu’).
Di dalam sanadnya terdapat dua perowi pendusta dan pemalsu hadits, yaitu Al-Harwi Al-juwaibari dan Wahb.
Ibnul Jauzi berkata tentang keduanya, yaitu Al-Harwi atau dikenal juga dengan Al-Juwaibari, dan Wahb bahwa keduanya adalah seorang pendusta dan pemalsu hadits. (Lihat Al-Mawdhu’at II/566)
Asy-Syaukani berkata tentang hadits ini: “Di dalam hadits ini ada dua perawi yang pendusta yang meriwayatkan hadits ini.” (lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah I/96 no.31).
Jika demikian derajat haditsnya, maka tidak boleh bagi siapapun dari umat Islam yang mengkhususkan puasa dan amalan-amalan ibadah lainnya seperti doa menyambut tahun baru hijriyah, dzikir berjama’ah, menghidupkan malamnya dengan qiyamul lail, bersedekah, membaca Al-Qur’an, mengadakan pengajian dan selainnya pada awal dan akhir tahun Hijriyah, karena haditsnya jelas-jelas sangat lemah atau bahkan PALSU, bukan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam. Cukuplah bagi kita beribadah kepada Allah dengan amalan-amalan yang dilandasi dengan hadits-hadits yang jelas dan pasti keshohihannya dari Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Hadits Kelima:
KEUTAMAAN PUASA SEMBILAN HARI PERTAMA BULAN MUHARROM

قال ابن الجوزي : أنبأنا ظفر بن على الهمداني أنبأنا أبو رجاء حمد بن أحمد التاجر حدثنا أبو نعيم أحمد بن عبدالله الحافظ حدثنا محمد بن عبدالرحمن بن الفضل حدثنا أبو زيد خالد بن النضر حدثنا إسماعيل بن عباد حدثنا سفيان بن حبيب عن موسى الطويل عن أنس بن مالك قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” مَنْ صَامَ تِسْعَةَ أَيَّامٍ مِنْ أَوَّلِ الْمُحَرَّمِ بَنَى الله ُلَهُ قُبَّةً فِي الْهَوَى مِيْلاً فِيْ مِيْلٍ لَهَا أَرْبَعَةُ أَبْوَابٍ”.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Telah memberitahukan kepada kami Zhafr bin Ali Al-Hamadani, ia berkata; telah memberitahukan kepada kami Abu Roja’ Hamd bin Ahmad At-Tajir, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Al-Hafizh, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahman bin Al-Fadhl, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Khalid bin An-Nadhr, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ismail bin Abbad, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Habib, dari Musa Ath-Thowil, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa berpuasa Sembilan hari dari hari pertama bulan Muharram, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah kubah di udara seluas satu mil dikali satu mil. Kubah tersebut memiliki empat pintu.”
(Dikeluarkan oleh Ibnul jauzi dalam kitab Al-Maudhu’aat , bab Shaumu tis’ati ayyaamin min awwali al-muharrom II/199).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya PALSU (Maudhu’).
Di dalam sanadnya ada seorang perowi yang Musa Ath-Thowil, dia seorang pendusta (pemalsu hadits).
Ibnu Hibban berkata tentangnya: “Musa Ath-Thowil meriwayatkan hadits-hadits palsu dari Anas (bin Malik radhiyallahu anhu, pent). Tidak diperbolehkan mencatat hadits-haditsnya kecuali untuk mengingkarinya.”
Ibnu ‘Adi berkata tentangnya: “dia meriwayatkan dari Anas radhiyallahu anhu hadits-hadits mungkar, dan dia juga seorang perowi yang majhul (tidak dikenal jati dirinya).” (Lihat Mizan Al-I’tidal, karya imam Adz-Dzahabi no.8888).
Hadits Keenam:
KEUTAMAAN AMALAN-AMALAN DI HARI ASYURA’ (10 MUHARROM)
Sebagian orang awam yang menganut madzhab Ahlus Sunnah melakukan hal-hal yang membuat marah orang-orang Syi’ah Rafidhoh, yaitu dengan membuat hadits-hadits palsu seputar keutamaan hari Asyura’ (hari kesepuluh bulan Muharrom), karena orang-orang Syi’ah Rofidhoh menganggap atau bahkan meyakini bahwa hari Asyura’ adalah hari keburukan dan berkabung serta mengekspresikan kesedihan atas terbunuhnya Husain bin Ali bin Abu Tholib di Karbala’. Kami para penganut akidah dan manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah berlepas diri dari kedua kelompok (kubu) yang saling berlawanan tersebut dalam menyikapi hari Asyura’.
Telah ada riwayat yang shohih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang keutamaan puasa hari Asyura’ (tanggal 10 Muharrom), yaitu akan menghapuskan dosa-dosa setahun yang lalu, akan tetapi mereka (orang-orang awam/jahil) belum merasa puas dengan keutamaan seperti itu, sehingga mereka memberanikan diri untuk menambah-nambahi dan memperpanjang keutamaan-keutamaan berbagai amalan pada hari Asyura’ secara dusta dan mengatas-namakan Nabi shallallahu alaihi wasallam.
Diantara hadits yang mereka palsukan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam ialah sebagaimana berikut:

قال ابن الجوزي : حدثنا أبو الفضل محمد بن ناصر من لفظه وكتابه مرتين قال أنبأنا أحمد بن الحسين بن قريش أنبأنا أبو طالب محمد بن على ابن الفتح العشارى، وقرأت على أبى القاسم الحريري عن أبى طالب العشارى حدثنا أبو بكر أحمد بن منصور البرسرى حدثنا أبو بكر أحمد بن سليمان النجاد حدثنا إبراهيم الحربى حدثنا سريح بن النعمان حدثنا ابن أبى الزناد عن أبيه عن الاعرج عن أبى هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:
” إن الله عز وجل افترض على بنى إسرائيل صوم يوم في السنة يوم عاشوراء وهو اليوم العاشر من المحرم، فصوموه ووسعوا على أهليكم فيه، فإنه من وسع على أهله من ماله يوم عاشوراء وسع عليه سائر سنته، فصوموه فإنه اليوم الذى تاب الله فيه على آدم، وهو اليوم الذى رفع الله فيه إدريس مكانا عليا، وهو اليوم الذى نجى فيه إبراهيم من النار، وهو اليوم الذى أخرج فيه نوحا من السفينة، وهو اليوم الذى أنزل الله فيه التوراة على موسى، وفيه فدى الله إسماعيل من الذبح، وهو اليوم الذى أخرج الله يوسف من السجن، وهو اليوم الذى رد الله على يعقوب بصره، وهو اليوم الذى كشف الله فيه عن أيوب البلاء، وهو اليوم الذى أخرج الله فيه يونس من بطن الحوت، وهو اليوم الذى فلق الله فيه البحر لبنى إسرائيل، وهو اليوم الذى غفر الله لمحمد ذنبه ما تقدم وما تأخر، وفى هذا اليوم عبر موسى البحر، وفى هذا اليوم أنزل الله تعالى التوبة على قوم يونس، فمن صام هذا اليوم كانت له كفارة أربعين سنة، وأول يوم خلق الله من الدنيا يوم عاشوراء، وأول مطر نزل من السماء يوم عاشوراء، وأول رحمة نزلت يوم عاشوراء، فمن صام يوم عاشوراء فكأنما صام الدهر كله، وهو صوم الانبياء، ومن أحيا ليلة عاشوراء فكأنما عبدالله تعالى مثل عبادة أهل السموات السبع، ومن صلى أربع ركعات يقرأ في كل ركعة الحمد مرة وخمسين مرة قل هو الله أحد غفر الله خمسين عاما ماض وخمسين عاما مستقبل وبنى له في الملا الاعلى ألف ألف منبر من نور، ومن سقى شربة من ماء فكأنما لم يعص الله طرفة عين، ومن أشبع أهل بيت مساكين يوم عاشوراء، مر على الصراط كالبرق الخاطف. ومن تصدق بصدقة يوم عاشوراء فكأنما لم يرد سائلا قط، ومن اغتسل يوم عاشوراء لم يمرض مرضا إلا مرض الموت، ومن اكتحل يوم عاشوراء لم ترمد عينيه تلك السنة كلها، ومن أمر يده على رأس يتيم فكأنما بر يتامى ولد آدم كلهم، ومن صام يوم عاشوراء أعطى ثواب عشرة ألف ملك، ومن صام يوم عاشوراء أعطى ثواب ألف حاج ومعتمر، ومن صام يوم عاشوراء أعطى ثواب ألف شهيد، ومن صام يوم عاشوراء كتب له أجر سبع سموات وفين خلق الله السموات و الارضين والجبال والبحار، وخلق العرش يوم عاشوراء، وخلق القلم يوم عاشوراء، وخلق اللوج يوم عاشوراء، وخلق جبريل يوم عاشوراء، ورفع عيسى يوم عاشوراء، وأعطى سليمان الملك يوم عاشوراء، ويوم القيامة يوم عاشوراء، ومن عاد مريضا يوم عاشوراء فكأنما عاد مرضى ولد آدم كلهم “.

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Fadhl Muhammad bin Nashir dari lafazh (lisan) dan kitab beliau sebanyak dua kali, ia berkata; telah memberitahukan kepada kami Ahmad bin Al-Husain bin Quraisy, ia berkata; telah memberitahukan kepada kami Abu Tholib Muhammad bin Ali bin Al-Fath Al-‘Usyari, dan aku telah membacakan (hadits-hadits) di hadapan Abu Al-Qosim Al-Hariri, dari Abu Tholib Al-‘Usyari, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Manshur Al-Barsari, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Ahmad bin Sulaiman An-Najjad, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibrahim Al-Harbi, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Suraih bin An-Nu’man, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Abi Az-Zinad, dari ayahnya, dari Al-A’roj, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya Allah ‘Azza wa jalla telah mewajibkan kepada Bani Israil puasa satu hari dalam setahun, hari ‘Asyura’, yaitu hari kesepuluh dari bulan Muharrom. Oleh karena itu, hendaklah kalian berpuasa ‘Asyura dan lapangkanlah nafkah kalian terhadap keluarga kalian pada hari itu, karena sesungguhnya barangsiapa melapangkan nafkah kepada keluarganya dari harta bendanya pada hari ‘Asyura, niscaya Allah akan melapangkan rezekinya sepanjang tahun.
Lakukanlah puasa Asyura’, karena pada hari itu Allah menerima taubat nabi Adam, mengangkat nabi Idris pada tempat/kedudukan yang tinggi, menyelamatkan nabi Ibrahim dari kobaran api, mengeluarkan nabi Nuh dari kapalnya, menurunkan kitab Taurat kepada nabi Musa, memberikan tebusan bagi nabi Ismail dari penyembelihan, mengeluarkan nabi Yusuf dari penjara, mengembalikan mata penglihatan nabi Ya’qub, membebaskan nabi Ayub dari bencana (penyakit), mengeluarkan nabi Yunus dari perut ikan paus/hiu, membelah lautan menjadi daratan bagi bani Israil, mengampuni dosa-dosa nabi Muhammad yang telah lalu maupun yang akan datang. Pada hari (Asyura’) itu juga nabi musa menyeberangi lautan, Allah menurunkan taubat kepada kaum nabi Yunus. Maka barangsiapa berpuasa pada hari Asyura’, ia akan memperoleh penghapusan dosa selama 40 (empat puluh) tahun.
Hari Asyura’ adalah hari pertama yang Allah ciptakan dari (hari-hari) dunia. Pada hari Asyura’, Allah menurunkan hujan dari langit untuk pertama kalinya, dan pada hari itu juga pertama kali rahmat Allah turun (ke dunia).
Barangsiapa berpuasa Asyura’, maka seakan-akan ia berpuasa sepanjang tahun. Puasa Asyura’ adalah puasanya para nabi. Dan barangsiapa menghidupkan malam Asyura’ maka seakan-akan ia beribadah kepada Allah seperti ibadahnya para penghuni tujuh langit. Barangsiapa sholat empat rokaat dan pada setiap rokaat ia membaca alhamdu (al-Fatihah) sekali dan Qul Huwallah (al-Ikhlas) 50 (lima puluh) kali, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya selama 50 (lima puluh) tahun yang lalu dan 50 (lima puluh) tahun yang akan datang, dan Allah akan membuatkan baginya satu juta mimbar terbuat dari cahaya di hadapan para malaikat yang mulia.
Barangsiapa memberi seteguk air minum (pada hari Asyura), maka seakan-akan ia tidak pernah bermaksiat kepada Allah sekejap pun. Barangsiapa mengenyangkan keluarga orang-orang miskin pada hari Asyura’, maka ia akan berjalan di atas ash-shiroth (jembatan yang terbentang di atas neraka Jahannam menuju surga, pent) secepat kilat.
Barangsiapa bersedekah dengan suatu sedekah pada hari Asyura’, maka seakan-akan ia tidak pernah menolak seorang pun yang meminta-minta. Barangsiapa mandi pada hari Asyura’, maka ia tidak akan mengalami sakit apapun kecuali kematian. Barangsiapa memakai celak pada hari Asyura’ maka kedua matanya tidak akan mengalami sakit sepanjang tahun itu. Barangsiapa tangannya mengusap kepala anak yatim, maka seakan-akan ia ia telah berbuat baik kepada semua anak yatim.
Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura’, maka ia diberi pahala 10.000 (sepuluh ribu) malaikat. Dan barangsiapa berpuasa pada hari Asyura’, ia akan diberi pahala 1000 (seribu) orang yang menunaikan haji dan umroh. Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura’, maka ia diberi pahala 1000 (seribu) orang yang mati syahid. Barangsiapa berpuasa pada hari Asyura’ , maka ia diberi pahala tujuh lapis langit.
Pada hari Asyura’ Allah menciptakan (tujuh lapis) langit dan bumi, gunung-gunung dan lautan, ‘Arsy, al-Qolam (pena), Lauhul Mahfuzh, dan malaikat Jibril. Pada hari Asyura’ Allah mengangkat nabi Isa, dan memberikan kerajaan kepada nabi Sulaiman. Hari Kiamat juga terjadi pada hari Asyura’. Dan barangsiapa menjenguk orang sakit pada hari Asyura’, maka seakan-akan ia telah menjenguk semua orang sakit dari keturunan nabi Adam.”
(Dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudhu’aat, bab fi dzikri Asyura’ II/200-201).
DERAJAT HADITS:
Hadits ini derajatnya PALSU (Maudhu’).
Di dalam sanadnya terdapat seorang perowi yang bernama Ibnu Abi Az-Zinad.
Yahya bin Ma’in berkata tentangnya: “Dia tidak ada apa-apanya, dan haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dan nama Abu Az-Zinad adalah Abdullah bin Dzakwan. Sedangkan nama anaknya adalah Abdurrahman. Dahulu (Abdurrahman) Ibnu Mahdi tidak meriwayatkan hadits darinya.”
Imam Ahmad berkata tentangnya: “Dia seorang perowi yang mudhthorib haditsnya (perowi yang menyampaikan riwayat secara tidak akurat atau berbeda-beda, pent).”
Abu Hatim Ar-Rozi berkata tentangnya: “Dia tidak dapat dijadikan hujjah. Barangkali sebagian ahlul ahwa (atau ahli bid’ah) telah memasukkannya di dalam haditsnya.”
Al-Hafizh Ibnu hajar Al-Asqolani berkata tentangnya: “Shoduq (), hafalannya mengalami perubahan ketika ia datang ke kota Baghdad.” (Taqrib At-Tahdzib II/340 no.3861).
Beberapa Tanda Kepalsuan di dalam Hadits ini:
Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kepalsuan hadits ini sudah sangat jelas dan tanpa diragukan lagi oleh setiap muslim yang berakal. Apalagi si pemalsu hadits ini tidak malu-malu lagi menyebutkan di dalamnya hal-hal yang mustahil, seperti perktaannya; “hari yang pertama kali Allah ciptakan adalah hari Asyura’ (hari kesepuluh).” Ini merupakan ketololan dan kelalaian dari si pemalsu hadits. Sebab hari Asyura’ (kesepuluh) tidaklah dinamakan demikian melainkan telah didahului dengan hari kesembilan. (Lihat kitab Al-Maudhu’aat II/201).
Di dalam hadits ini juga si pemalsu mengatakan, “Allah menciptakan Langit-langit dan bumi serta gunung-gunung pada hari Asyura’.” Padahal telah ada hadits shohih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang menyelisihi perkataannya, yaitu sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Sesungguhnya Allah ta’ala telah menciptakan tanah (bumi) pada hari Sabtu dan telah menciptakan gunung-gunung pada hari Ahad, dan Allah menciptakan pepohonan pada hari Senin…dst.” (SHOHIH. Lihat Silsilah Al-Ahadits Ash-Shohihah, karya Syaikh Al-Albani IV/449 no.1833).
Di dalam hadits palsu ini juga, terdapat penyelewengan dan perubahan dalam masalah ukuran-ukuran pahala yang tidak sesuai dengan kebaikan dan kemurahan Syariat Islam. Apakah pantas seseorang yang berpuasa satu hari lalu diberi pahala seperti halnya 1000 (seribu) orang yang haji dan umroh serta 1000 (seribu) orang yang mati syahid? Yang demikian ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
(Hadits-hadits ini diterjemahkan dari kitab Al-Maudhu’aat karya Ibnul jauzi dan kitab-kitab lainnya (Maktabah Syamilah) dan disusun oleh penulis pada hari Senin, 28 November 20011 di kediamannya, Juwiring, Klaten, Jawa Tengah).
Bersambung…(insya Allah)

Artikel: Abufawaz.Wordpress.com publish kembali oleh Moslemsunnah.Wordpress.com

copas dari : http://moslemsunnah.wordpress.com

BIOGRAFI AL-MUHADITS MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI

Nama beliau adalah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin bin Nuh al-Albani. Dilahirkan pada tahun 1333 H di kota Ashqodar ibu kota Albania yang lampau. Beliau dibesarkan di tengah keluarga yang tak berpunya, lantaran kecintaan terhadap ilmu dan ahli ilmu.
Ayah al Albani yaitu Al Haj Nuh adalah lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari’at di ibukota negara dinasti Utsmaniyah (kini Istambul), yang ketika Raja Ahmad Zagho naik tahta di Albania dan mengubah sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, maka Syeikh Nuh amat mengkhawatirkan dirinya dan diri keluarganya. Akhirnya beliau memutuskan untuk berhijrah ke Syam dalam rangka menyelamatkan agamanya dan karena takut terkena fitnah. Beliau sekeluargapun menuju Damaskus.
Setiba di Damaskus, Syeikh al-Albani kecil mulai aktif mempelajari bahasa arab. Beliau masuk sekolah pada madrasah yang dikelola oleh Jum’iyah al-Is’af al-Khairiyah. Beliau terus belajar di sekolah tersebut tersebut hingga kelas terakhir tingkat Ibtida’iyah. Selanjutnya beliau meneruskan belajarnya langsung kepada para Syeikh. Beliau mempelajari al-Qur’an dari ayahnya sampai selesai, disamping itu mempelajari pula sebagian fiqih madzab Hanafi dari ayahnya.
Syeikh al-Albani juga mempelajari keterampilan memperbaiki jam dari ayahnya sampai mahir betul, sehingga beliau menjadi seorang ahli yang mahsyur. Ketrampilan ini kemudian menjadi salah satu mata pencahariannya.
Pada umur 20 tahun, pemuda al-Albani ini mulai mengkonsentrasi diri pada ilmu hadits lantaran terkesan dengan pembahasan-pembahsan yang ada dalam majalah al-Manar, sebuah majalah yang diterbitkan oleh Syeikh Muhammad Rasyid Ridha. Kegiatan pertama di bidang ini ialah menyalin sebuah kitab berjudul “al-Mughni ‘an Hamli al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ishabah min al-Akhbar“. Sebuah kitab karya al-Iraqi, berupa takhrij terhadap hadits-hadits yang terdapat pada Ihya’ Ulumuddin al-Ghazali. Kegiatan Syeikh al-Albani dalam bidang hadits ini ditentang oleh ayahnya seraya berkomentar. “Sesungguhnya ilmu hadits adalah pekerjaan orang-orang pailit (bangkrut)”.
Namun Syeikh al-Albani justru semakin cinta terhadap dunia hadits. Pada perkembangan berikutnya, Syeikh al-Albani tidak memiliki cukup uang untuk membeli kitab-kitab. Karenanya, beliau memanfaatkan Perpustakaan adh-Dhahiriyah di sana (Damaskus). Di samping juga meminjam buku-buku dari beberapa perpustakaan khusus. Begitulah, hadits menjadi kesibukan rutinnya, sampai-sampai beliau menutup kios reparasi jamnya. Beliau lebih betah berlama-lama dalam perpustakaan adh-Dhahiriyah, sehingga setiap harinya mencapai 12 jam. Tidak pernah istirahat mentelaah kitab-kitab hadits, kecuali jika waktu sholat tiba. Untuk makannya, seringkali hanya sedikit makanan yang dibawanya ke perpustakaan.
Akhirnya kepala kantor perpustakaan memberikan sebuah ruangan khusus di perpustakaan untuk beliau. Bahkan kemudiaan beliau diberi wewenang untuk membawa kunci perpustakaan. Dengan demikian, beliau menjadi leluasa dan terbiasa datang sebelum yang lainnya datang. Begitu pula pulangnya ketika orang lain pulang pada waktu dhuhur, beliau justru pulang setelah sholat isya. Hal ini dijalaninya sampai bertahun-tahun.
Pengalaman Penjara
Syeikh al-Albani pernah dipenjara dua kali. Kali pertama selama satu bulan dan kali kedua selama enam bulan. Itu tidak lain karena gigihnya beliau berdakwah kepada sunnah dan memerangi bid’ah sehingga orang-orang yang dengki kepadanya menebarkan fitnah.
Beberapa Tugas yang Pernah Diemban
Syeikh al-Albani Beliau pernah mengajar di Jami’ah Islamiyah (Universitas Islam Madinah) selama tiga tahun, sejak tahun 1381-1383 H, mengajar tentang hadits dan ilmu-ilmu hadits. Setelah itu beliau pindah ke Yordania. Pada tahun 1388 H, Departemen Pendidikan meminta kepada Syeikh al-Albani untuk menjadi ketua jurusan Dirasah Islamiyah pada Fakultas Pasca Sarjana di sebuah Perguruan Tinggi di kerajaan Yordania. Tetapi situasi dan kondisi saat itu tidak memungkinkan beliau memenuhi permintaan itu. Pada tahun 1395 H hingga 1398 H beliau kembali ke Madinah untuk bertugas sebagai anggota Majelis Tinggi Jam’iyah Islamiyah di sana. Mandapat penghargaan tertinggi dari kerajaan Saudi Arabia berupa King Faisal Fundation tanggal 14 Dzulkaidah 1419 H.
Beberapa Karya Beliau
Karya-karya beliau amat banyak, diantaranya ada yang sudah dicetak, ada yang masih berupa manuskrip dan ada yang mafqud (hilang), semua berjumlah 218 judul. Beberapa Contoh Karya Beliau adalah :
  • Adabuz-Zifaf fi As-Sunnah al-Muthahharah
  • Al-Ajwibah an-Nafi’ah ‘ala as’ilah masjid al-Jami’ah
  • Silisilah al-Ahadits ash Shahihah
  • Silisilah al-Ahadits adh-Dha’ifah wal maudhu’ah
  • At-Tawasul wa anwa’uhu
  • Ahkam Al-Jana’iz wabida’uha
Di samping itu, beliau juga memiliki kaset ceramah, kaset-kaset bantahan terhadap berbagai pemikiran sesat dan kaset-kaset berisi jawaban-jawaban tentang pelbagai masalah yang bermanfaat.
Selanjutnya Syeikh al-Albani berwasiat agar perpustakaan pribadinya, baik berupa buku-buku yang sudah dicetak, buku-buku foto copyan, manuskrip-manuskrip (yang ditulis oleh beliau sendiri ataupun orang lain) semuanya diserahkan ke perpustakaan Jami’ah tersebut dalam kaitannya dengan dakwah menuju al-Kitab was Sunnah, sesuai dengan manhaj salafush Shalih (sahabat nabi radhiyallahu anhum), pada saat beliau menjadi pengajar disana.
Wafatnya
Beliau wafat pada hari Jum’at malam Sabtu tanggal 21 Jumada Tsaniyah 1420 H atau bertepatan dengan tanggal 1 Oktober 1999 di Yoradania. Rahimallah asy-Syaikh al-Albani rahmatan wasi’ah wa jazahullahu’an al-Islam wal muslimiina khaira wa adkhalahu fi an-Na’im al-Muqim.

COPAS DARI : 
 http://ummusalma.wordpress.com/2007/03/22/biografi-syaikh-muhammad-nahiruddin-al-albani/

BIOGRAFI SYAIKH UTSAIMIN RAHIMAHUMULLAH

KEHIDUPAN SYAIKH
Beliau lahir pada tahun 1347H atau tahun 1928M di Unaizah. Pertama kali beliau belajar dari kakek beliau dari jalur Ibu Al’Allamah Asy-Syaikh Abdurrahman bin Sulaiman bin Damigh dan dibawah bimbingan beliau Ibnu Utsaimin berhasil menghafal alquran (30 Juz) . beliau juga belajar kepada Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Syaikh Ali Ash-Shalihi dan Syaikh Muhammad Abdul Aziz bin Muthawwi’ dalam bidang tauhid, fiqih dan bahasa Arab. Kemudian beliau masuk ke Ma’had Al-Ilmiyah di Riyadh pada tahun 1373H (dalam usia 26 tahun) dan pada kesempatan inilah Ibnu Utsaimin belajar shahih Bukhari, beberapa risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beberapa kitab fiqih kepada Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz rahimahullah. Sedang guru beliau yang lain ialah Syaikh Muhammad Al Amin bin Muhammad Al Mukhtar dan Syaikh Abdurahman bin Ali bin ‘Audan. Beliau lulus dari Fakultas Syariah di Riyadh pada tahun 1344 (dalam usia 30 Tahun)

TUGAS KESEHARIAN BELIAU
Pengajar pada ma’had Ilmi di Unaizah, Ustadz di fakultas Syari’ah dan Ushuluddin pada cabang Universitas Ibnu Su’ud di Qosim, Dekan Jurusan Aqidah dan aliran-aliran kontemporer, Anggota bagian pengajaran di Univeritas Ibu Su’ud Qosim, Anggota Hai’ah Kibaril Ulama’ (Majelis Ulama Besar Kerajaan Saudi Arabia )
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah memiliki semangat dan kesungguhan yang besar dalam bidang dakwah, mengajar, menyusun buku, memberi fatwa, menulis risalah dan memberikan ceramah umum di Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan berbagai kota di Kerajaan Saudi Arabia, dengan gaya beliau yang khas dan penuh hikmah, mauizah hasanah (nasehat yang baik) dan teguh diatas Manhaj Salafus Shalih
Beliau mulai mengajar di masjid Jami’ pada tahun 1371 (usia 24 tahun). Dan suatu yang layak menjadi perhatian adalah penolakan beliau untuk menjabat sebagai qodhi padahal Syaikh Ibnu Ibrahim -Mufti Saudi dan Kepala Qodha (pengadilan) di masa itu- terus-menerus mendesak beliau untuk menerima jabatan tersebut. Bahkan Syaikh Ibnu Ibrahim telah mengeluarkan SK penunjukan Ibnu Utsaimin. Hal ini menunjukkan sifat wara’ beliau

MUTIARA-MUTIARA PENINGGALAN SYAIKH RAHIMAHULLAH
  1. Huquq Da’at Ilaiha Fithrah wa Qararaha asy-Syari’ah.
  2. Al-Ibda’ Fil Bayani kamalisy Syar’ Wa Khatharul Ibtida’.
  3. Fitanul Majallat.
  4. Fatawa Haula Fitanil Jara’id Wal majalat.
  5. Khutbata ‘Idil Fitri Wa ‘Idil Adha
  6. Risalah Fid-Dakwah Ilallah
  7. Al-Lami’mminal Khutabil jawami’
  8. Risalatani Mufidatani
  9. Min Musykilatis Syabab
  10. Taujihaat Lil Mu’minat haula Tabarruj was Sufur.
  11. Risalatul Hijab.
  12. Al-Imaam Bi Ba’dil Ayaatil Ahkaam ( Tafsiran Wa Istinbathan)
  13. At-Tafsir Wa Ushuluhu
  14. Tafsir Ayatil Kursi
  15. Mushthalahul Hadits
  16. Tanbihul Afhaam Bi Syarhi ‘Umdatil Ahkaam.
  17. Mukhtaraatun Min Zaadil Ma’ad
  18. Rosail Fil Aqidah
  19. Syarh Lum’atil I’tiqadi Al-Haadi Ila Sabilir Rasyadi
  20. Aqidatu Ahlis Sunnah wal jama’ah
  21. Fathu Rabbil bariyah Bi Talkhishil hamawiyah Li Syaikhul Islam Ibnu taimiyah
  22. Nubdzah Fil Aqidatil Islamiyah (syarhu Ushulil Iman)
  23. Al-Qadla ‘wal Qadar.
  24. Al-Qowaidul Mustlaa Fi Shifatillah Wa Asmaihil Husna
  25. Al-Ushul Fi Ilmil Ushul
  26. Al-Khilaf Bainal Ulama’ : Asbaabuhu Wa Mauqifunna Minhu
  27. la Mata hadzaz khilaf
  28. Risalatun Fiqhiyatun Fi Sujudish Sahwi
  29. Risalatun Fil Wudlu’Wal Ghusli Was-Shalat
  30. Rasa’il Fiqhiyah
  31. Fushuul Fis Shiyam Wat Tarawih Waz Zakaat
  32. Risatun Fid-Dima’ith Thabi’iyati Lin Nisa’i.
  33. Shifatul Wudlu.
  34. Al Mas-hu Alal Khuffain
  35. Al-Gaslu (Khutab)
  36. Al-Mar’atul Muslimatu : Ahkaamu Fiqhiyatun haulal Hijab
  37. Fatawa al-Mas-hu Alal Khuffain
  38. Khutbatun Fith Thaharati Was-Shalat
  39. Risalatun Fi Hukmi Taarikish Shalat
  40. Risalatun Fi Taarikish Shalati Wa Fitanul Majallat
  41. Rislatun Fiqhiyatun (Sujud Sahwi, thaharatul Mariidl Wa Shalatuhu, Wa Mawaqitus shalat)
  42. Ahkamush Shiyam wal I’tikaaf
  43. Tsamaniyah Wa Arba’un Su’alan Fish Shiyaam
  44. Khutabun Fish Shiyaami Waz Zakat
  45. Majaalis Syahri Ramadlan
  46. Shifatul Hajji Wal ‘Umrah
  47. Al-Manhaju Li Muriidil hajji Wal ‘Umrah
  48. Talkhisu Kitab Akhaamil Udlhiyah Waz Zakat
  49. Ahkaamul Udhiyah waz Zakat
  50. Al-Fataawa adz Dzahabiyah fi bai’i wa Syira’l Dzahab
  51. Al Mudayanah
  52. Tas-hilul Faraa’idh
  53. Az-Zawaaj
  54. Az-Zawaaju Fisy Syari’atil Islamiyati (Musytarak)
  55. Al-Jihad
  56. Mukhtaraatil Min I’lamil Muwaqi’iin
  57. As-ilatun Muhimmatun
  58. As-Ilatun Haammatun
  59. Fataawa Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utasimin
  60. Fatawal Mar’atil Muslimah
  61. Fatawan Nisa’iyah
  62. Al-Majmu’uts Tsaminu Fi Fatawasy Syaikhi Muhammad bin Shalih Al Utsaimin
  63. Fushulun fish shiyaami wat Tarawihi waz Zakaat
  64. As’ilatun Wa Ajwibatun Min Alfazh wa Mafaahiima fi Mizaanisy Syar’iah
  65. Min Ahkaamith Thaharati Wash Shalat (MusytaraK)
  66. As’ilatun Wa Ajwibatun fi Shalatil’Idaini
  67. Asy Syaikhu Muhammad bin Abdil Wahhabi : hayatuhu wa Fikruhu
Catatan : Banyak kitab Syaikh Ibnu Utsaimin yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia baik judul yang ada diatas maupun judul yang lain.
Kitab yang pertama kali beliau tulis adalah Fathu Rabbi Bariyah, ringkasan kitab Al hamawiyah karya Ibnu Taimiyah, yang panjang lebar berkenaan dengan akidah sebagai jawaban penduduk Hamah . Sekarang (1421H) telah terbit buku-buku karya Syaikh Utsaimin berjudul Mu’llafaush syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin karya Muhammad Yusuf. Fatwa-fatwa beliau juga dikumpulkan dalam beberapa buku Majmu’ah (kumpulan), yang paling terkenal Majmu’ah karya Fahd As-Sulaiman ayng terdiri lebih dari 40 jilid yang diterbitkan Dar Ats-Tsurayya.
Beliau juga mempunyai perhatian terhadap para penuntut ilmu, sehingga beliau membangun pondokan/asrama bagi meraka, terletak dekat masjid Jami’ Unaizah dari uang hadiah raja Khalid rahimahullah kepada beliau. Maka berdatanganlah para penuntut ilmu dari penjuru negeri baik dari dalam maupun luar negara saudi Arabia sehingga berkilauanlah Unaizah sebagi kota santri.
WAFATNYA SYAIKH IBNU UTSAIMIN
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin – pengajar di Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, cabang Qosim, dan anggota hai’ah Kibaril ‘Ulama Saudi, yang merupakan penutup ulama’-ulama besar Hanabiah di zaman ini – telah wafat pada hari Rabu 15 Syawal 1421 H atau 10 januari 2001 M, pukul 6 sore di rumah sakit raja Faishol di Jeddah, setelah beliau terserang kanker colon/usus besar yang telah beliau derita sejak lama, namun baru diketahui pada bulan shafar 1421 H setelah beliau memeriksakan diri di rumah sakit Tentara Nasional Raja Fadh di Riyadh. Beliau menerima keadaan tersebut dengan penuh kesabaran dan kepasrahan dan beliau menolak untuk diobati secara kimia. Berdasarkan desakan pemerintah Saudi, akhirnya beliau bersedia untuk melakukan pengobatan medis di negara Amerika selama beberapa bulan, namun akhirnya beliau segera kembali untuk melanjutkan tugas-tugas beliau berupa mengajar dan memberi fatwa di kota Unaizah dan Masjid Al-Haram.
Selama Bulan Ramadhan kemarin (1421H) beliau menempati sebuah kamar di Masjidil Haram dan tidak seorangpun diperbolehkan masuk kecuali beberapa orang tertentu, seperti Syaikh Abdullah Al-Bassam dan anak-anak beliau serta keluarga. Beliau memberi pelajaran di Masjidil Haram dari kamar tersebut, namun materi yang disampaikan hanya singkat dan tanpa persiapan, lebih-lebih ketika sakit beliau semakin parah pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Perlu diketahui pula, bahwa satu tim dokter dari rumah sakit raja Fadh di Riyadh selalu menemani beliau hingga detik-detik terakhir kehidupan beliau.
Ibnu Utsaimin, wafat dalam usia 74 Tahun. Jenasah beliau dishalati di Masjid Al-Haram Makkah Al Mukkarommah, setelah shalat ashar pada hari kamis 11 januari 2001, lalu disemayankan di pemakaman Al-Adl di dekat makan guru beliau sekaligus teman beliau di jalan dakwah salaf yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz.
Lebih dari setengah juta manusia mengiringi jenazah beliau kepemakaman. Meskipun pemerintah Saudi telah telah berusaha menurunkan aparat keamanan sebanyak 1000 polisi, namun tetap saja timbul saling dorong sehingga banyak yang pingsan. Untuk mengatasi keadaan yang lebih gawat di dalam makam, maka ditutuplah semua pintu masuk menuju pemakaman, padahal petugas hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk menguburkan jenazah beliau rahimahullah.
Turut serta dalam pemakaman ini Menteri Dalam Negeri Saudi Al-Amir bin Nayif bin Abdul Aziz, Ketua Pusat Pengkajian Strategi Al-Amir Mamduh bin Abdul Aziz, Ketua Daerah Qosim Al-Amir Faishol bin Bandar bin Abdul Aziz, Gubernur Jeddah Al-Amir Musy’il bin Maajid bin Abdul Aziz dan banyak dari kalangan ulama’ juga umara ditambah para tholibul ilmi, murid-murid dan orang-orang yang mencintai beliau.
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin ialah seorang faqih besar diantara ulama-ulama besar Saudi lainnya yang masih hidup, semoga Allah merahmati beliau.
 COPAS DARI : http://ummusalma.wordpress.com/2007/04/05/biografi-singkat-imam-ibnu-%E2%80%98utsaimin-2/

Biografi Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdullâh bin Bâz

Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Syaikh Bin Baz, menurut Syaikh Muqbil Bin Hadi Al Wadi’i, adalah seorang tokoh ahli fiqih yang diperhitungkan di jaman kiwari ini, sebagaimana Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga seorang ulama ahlul hadits yang handal masa kini. Untuk mengenal lebih dekat siapa beliau, mari kita simak penuturan beliau mengungkapkan data pribadinya berikut ini.
Syaikh mengatakan, “Nama lengkap saya adalah Abdul ‘Aziz Bin Abdillah Bin Muhammad Bin Abdillah Ali (keluarga) Baz. Saya dilahirkan di kota Riyadh pada bulan Dzulhijah 1330 H. Dulu ketika saya baru memulai belajar agama, saya masih bisa melihat dengan baik. Namun qodarullah pada tahun 1346 H, mata saya terkena infeksi yang membuat rabun. Kemudian lama-kelamaan karena tidak sembuh-sembuh mata saya tidak dapat melihat sama sekali. Musibah ini terjadi pada tahun 1350 Hijriyah. Pada saat itulah saya menjadi seorang tuna netra. Saya ucapkan alhamdulillah atas musibah yang menimpa diri saya ini. Saya memohon kepada-Nya semoga Dia berkenan menganugerahkan bashirah (mata hati) kepada saya di dunia ini dan di akhirat serta balasan yang baik di akhirat seperti yang dijanjikan oleh-Nya melalui nabi Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wasallam atas musibah ini. Saya juga memohon kepadanya keselamatan di dunia dan akhirat.
Mencari ilmu telah saya tempuh semenjak masa anak-anak. Saya hafal Al Qur’anul Karim sebelum mencapai usia baligh. Hafalan itu diujikan di hadapan Syaikh Abdullah Bin Furaij. Setelah itu saya mempelajari ilmu-ilmu syariat dan bahasa Arab melalui bimbingan ulama-ulama kota kelahiran saya sendiri. Para guru yang sempat saya ambil ilmunya adalah:
  1. Syaikh Muhammad Bin Abdil Lathif Bin Abdirrahman Bin Hasan Bin Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab, seorang hakim di kota Riyadh.
  2. Syaikh Hamid Bin Faris, seorang pejabat wakil urusan Baitul Mal, Riyadh.
  3. Syaikh Sa’d, Qadhi negeri Bukhara, seorang ulama Makkah. Saya menimba ilmu tauhid darinya pada tahun 1355 H.
  4. Samahatus Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Bin Abdul Lathief Alu Syaikh, saya bermuzalamah padanya untuk mempelajari banyak ilmu agama, antara lain: aqidah, fiqih, hadits, nahwu, faraidh (ilmu waris), tafsir, sirah, selama kurang lebih 10 tahun. Mulai 1347 sampai tahun 1357 H.
Semoga Allah membalas jasa-jasa mereka dengan balasan yang mulia dan utama.
Dalam memahami fiqih saya memakai thariqah (mahdzab -red) Ahmad Bin Hanbal [1] rahimahullah. Hal ini saya lakukan bukan semata-mata taklid kepada beliau, akan tetapi yang saya lakukan adalah mengikuti dasar-dasar pemahaman yang beliau tempuh. Adapun dalam menghadapi ikhtilaf ulama, saya memakai metodologi tarjih, kalau dapat ditarjih dengan mengambil dalil yang paling shahih. Demikian pula ketika saya mengeluarkan fatwa, khususnya bila saya temukan silang pendapat di antara para ulama baik yang mencocoki pendapat Imam Ahmad atau tidak. Karena AL HAQ itulah yang pantas diikuti. Allah berfirman (yang artinya -red), “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (An Nisa:59)”
TUGAS-TUGAS SYAR’I
” Banyak jabatan yang diamanahkan kepada saya yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Saya pernah mendapat tugas sebagai:
  1. Hakim dalam waktu yang panjang, sekitar 14 tahun. Tugas itu berawal dari bulan Jumadil Akhir tahun 1357 H.
  2. Pengajar Ma’had Ilmi Riyadh tahun 1372 H dan dosen ilmu fiqih, tauhid, dan hadits sampai pada tahun 1380 H.
  3. Wakil Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1381-1390 H.
  4. Rektor Universitas Islam Madinah pada tahun 1390 H menggantikan rektor sebelumnya yang wafat yaitu Syaikh Muhammad Bin Ibrahim Ali Syaikh. Jabatan ini saya pegang pada tahun 1389 sampai dengan 1395 H.
  5. Pada tanggal 13 bulan 10 tahun 1395 saya diangkat menjadi pimpinan umum yang berhubungan dengan penelitian ilmiah, fatwa-fawa, dakwah dan bimbingan keagamaan sampai sekarang. Saya terus memohon kepada Allah pertolongan dan bimbingan pada jalan kebenaran dalam menjalankan tugas-tugas tersebut.
Disamping jabatan-jabatan resmi yang sempat saya pegang sekarang, saya juga aktif di berbagai organisasi keIslaman lain seperti:
  1. Anggota Kibarul Ulama di Makkah.
  2. Ketua Lajnah Daimah (Komite Tetap) terhadap penelitian dan fatwa dalam masalah keagamaan di dalam lembaga Kibarul Ulama tersebut.
  3. Anggota pimpinan Majelis Tinggi Rabithah ‘Alam Islami.
  4. Pimpinan Majelis Tinggi untuk masjid-masjid.
  5. Pimpinan kumpulan penelitian fiqih Islam di Makkah di bawah naungan organisasi Rabithah ‘Alam Islami.
  6. Anggota majelis tinggi di Jami’ah Islamiyah (universitas Islam -red), Madinah.
  7. Anggota lembaga tinggi untuk dakwah Islam yang berkedudukan di Makkah.
Mengenai karya tulis, saya telah menulis puluhan karya ilmiah antara lain:
  1. Al Faidhul Hilyah fi Mabahits Fardhiyah.
  2. At Tahqiq wal Idhah li Katsirin min Masailil Haj wal Umrah Wa Ziarah (Tauhdihul Manasik – ini yang terpenting dan bermanfaat – aku kumpulkan pada tahun 1363 H). Karyaku ini telah dicetak ulang berkali-kali dan diterjemahkan ke dalam banyak bahasa (termasuk bahasa Indonesia -pent).
  3. At Tahdzir minal Bida’ mencakup 4 pembahasan (Hukmul Ihtifal bil Maulid Nabi wa Lailatil Isra’ wa Mi’raj, wa Lailatun Nifshi minas Sya’ban wa Takdzibir Ru’yal Mar’umah min Khadim Al Hijr An Nabawiyah Al Musamma Asy Syaikh Ahmad).
  4. Risalah Mujazah fiz Zakat was Shiyam.
  5. Al Aqidah As Shahihah wama Yudhadhuha.
  6. Wujubul Amal bis Sunnatir Rasul Sholallahu ‘Alaihi Wasallam wa Kufru man Ankaraha.
  7. Ad Dakwah Ilallah wa Akhlaqud Da’iyah.
  8. Wujubu Tahkim Syar’illah wa Nabdzu ma Khalafahu.
  9. Hukmus Sufur wal Hijab wa Nikah As Sighar.
  10. Naqdul Qawiy fi Hukmit Tashwir.
  11. Al Jawabul Mufid fi Hukmit Tashwir.
  12. Asy Syaikh Muhammad Bin Abdil Wahhab (Da’wah wa Siratuhu).
  13. Tsalatsu Rasail fis Shalah: Kaifa Sholatun Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, Wujubu Ada’is Shalah fil Jama’ah, Aina Yadha’ul Mushalli Yadaihi hinar Raf’i minar Ruku’.
  14. Hukmul Islam fi man Tha’ana fil Qur’an au fi Rasulillah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam.
  15. Hasyiyah Mufidah ‘Ala Fathil Bari – hanya sampai masalah haji.
  16. Risalatul Adilatin Naqliyah wa Hissiyah ‘ala Jaryanis Syamsi wa Sukunil ‘Ardhi wa Amakinis Su’udil Kawakib.
  17. Iqamatul Barahin ‘ala Hukmi man Istaghatsa bi Ghairillah au Shaddaqul Kawakib.
  18. Al Jihad fi Sabilillah.
  19. Fatawa Muta’aliq bi Ahkaml Haj wal Umrah wal Ziarah.
  20. Wujubu Luzumis Sunnah wal Hadzr minal Bid’ah.”
Sampai di sini perkataan beliau yang saya (Ustadz Ahmad Hamdani -red) kutip dari buku Fatwa wa Tanbihat wa Nashaih hal 8-13.
AKIDAH DAN MANHAJ DAKWAH
Akidah dan manhaj dakwah Syaikh ini tercermin dari tulisan atau karya-karyanya. Kita lihat misalnya buku Aqidah Shahihah yang menerangkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, menegakkan tauhid dan membersihkan sekaligus memerangi kesyirikan dan pelakunya. Pembelaannya kepada sunnah dan kebenciannya terhadap kebid’ahan tertuang dalam karya beliau yang ringkas dan padat, berjudul At Tahdzir ‘alal Bida’ (sudah diterjemahkan -pent). Sedangkan perhatian (ihtimam) dan pembelaan beliau terhadap dakwah salafiyah tidak diragukan lagi. Beliaulah yang menfatwakan bahwa firqatun najiyah (golongan yang selamat -red) adalah para salafiyyin yang berpegang dengan kitabullah dan sunnah Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dalam hal suluk (perilaku) dan akhlaq serta aqidah. Beliau tetap gigih memperjuangkan dakwah ini di tengah-tengah rongrongan syubhat para da’i penyeru ke pintu neraka di negerinya khususnya dan luar negeri beliau pada umumnya, hingga al haq nampak dan kebatilan dilumatkan. Agaknya ini adalah bukti kebenaran sabda Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya), “Akan tetap ada pada umatku kelompok yang menampakkan kebenaran (al haq), tidak memudharatkan mereka orang yang mencela atau menyelisihinya”
Footnote:
[1] Mahdzab secara istilah yakni mengikuti istilah-istilah Ahmad Bin Hanbal dalam mempelajari masalah fiqih atau hadits. Bukan Mahdzab syakhsyi yaitu mengambil semua hadits yang diriwayatkannya.
Sumber: SALAFY Edisi XXV/1418H/1998M hal 48-49
Judul Asli: “Syaikh Bin Baz Mutjahid dan Ahli Fiqih Jaman Ini”
WAFAT BELIAU (Keterangan tambahan)
Beliau wafat pada hari Kamis, 27 Muharram 1420H/13 Mei 1999M. Semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatinya. Amin.
Sumber keterangan tambahan: www.fatwaonline.com
(dicopy dari www.ghuroba.blogsome.com, semoga Allah membalas kebaikan adminnya)

BIOGRAFI IMAM AHMAD BIN HANBAL

Nasab dan Kelahirannya 
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.

Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling masyhur- tahun 164 H.

Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun, ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya, Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini, keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad. Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits, para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat. Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah bercerita, “Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil (periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata, ‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata, “Saya tidak sempat bertemu dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin ‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu) hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180 saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah), kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama Lain Kepadanya
Imam Syafi‘i pernah mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
Suatu hari, Imam Syafi‘i masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
Imam Syafi‘i juga berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
Abdul Wahhab al-Warraq berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000 masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’ atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’.” Ahmad bin Syaiban berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu 16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab) sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah, Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus, mendapat sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk. Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’” Tatkala Khalifah ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun, mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah. Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras. Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya, Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya. Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari. Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal 12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang telah dientukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang. Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang, bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya. Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian adalah (tampak pada) hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad. Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah.”
Sumber:www.muslim.or.id

BIOGRAFI IMAM SYAFI'I RAHIMAHUMULLAH

Ulama adalah pewaris para nabi. Keberadaannya di tengah umat bagai pelita dalam kegelapan. Titah dan bimbingannya laksana embun penyejuk dalam kehausan. Keharuman namanya pun seakan selalu hidup dalam sanubari umat.
Dengan segala hikmah dan kasih sayang-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Hakim lagi Maha Rahim tak membiarkan umat Islam -dalam setiap generasinya- lengang dari para ulama. Diawali dari para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia terbaik umat ini, kemudian dilanjutkan oleh para ulama setelah mereka, dari generasi ke generasi. Orang-orang pilihan pewaris para nabi yang selalu siaga membela agama Allah Subhanahu wa Ta’ala dari pemutarbalikan pengertian agama yang dilakukan oleh para ekstremis, kedustaan orang-orang sesat dengan kedok agama, dan penakwilan menyimpang yang dilakukan oleh orang-orang jahil. Di antara para ulama tersebut adalah Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu. Seorang ulama besar umat ini yang berilmu tinggi, berakidah lurus, berbudi pekerti luhur, lagi bernasab mulia.
Nama dan garis keturunan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Nama Al-Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris. Beliau berasal dari Kabilah Quraisy yang terhormat (Al-Qurasyi), tepatnya dari Bani Al-Muththalib (Al-Muththalibi) dan dari anak cucu Syafi’ bin As-Saib (Asy-Syafi’i). Adapun ibu beliau adalah seorang wanita mulia dari Kabilah Azd (salah satu kabilah negeri Yaman). Kunyah beliau Abu Abdillah, sedangkan laqab (julukan) beliau Nashirul Hadits (pembela hadits NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam). Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada Abdu Manaf bin Qushay, sebagaimana dalam silsilah garis keturunan beliau berikut ini:
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Saib bin Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al-Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. (Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu, 1/76, 472, Siyar A’lamin Nubala’karya Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullahu, 10/5-6, dan Tahdzibul Asma’ wal Lughatkarya Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu, 1/44)
Kelahiran dan masa tumbuh kembang Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Para sejarawan Islam sepakat bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan pada tahun 150 H. Di tahun yang sama, Al-Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit Al-Kufirahimahullahu meninggal dunia. Adapun tempat kelahiran beliau, ada tiga versi: Gaza, Asqalan, atau Yaman.
Menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu dalam Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris (hal. 51-52), tidak ada pertentangan antara tiga versi tersebut, karena Asqalan adalah nama sebuah kota di mana terdapat Desa Gaza. Sedangkan versi ketiga bahwa Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Yaman, menurut Al-Imam Al-Baihaqi, bukanlah negeri Yaman yang dimaksud, akan tetapi tempat yang didiami oleh sebagian kabilah Yaman, dan Desa Gaza termasuk salah satu darinya. (LihatManhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah karya Dr. Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Aqil, 1/21-22, dan Manaqib Asy-Syafi’i, 1/74)
Dengan demikian tiga versi tersebut dapat dikompromikan, yaitu Al-Imam Asy-Syafi’i dilahirkan di Desa Gaza, Kota ‘Asqalan (sekarang masuk wilayah Palestina) yang ketika itu didiami oleh sebagian kabilah Yaman.
Para pembaca yang mulia, di Desa Gaza, Asy-Syafi’i kecil tumbuh dan berkembang tanpa belaian kasih seorang ayah alias yatim. Walau demikian, keberadaan sang ibu yang tulus dan penuh kasih sayang benar-benar menumbuhkan ketegaran pada jiwa beliau untuk menyongsong hidup mulia dan bermartabat. Pada usia dua tahun sang ibu membawa Asy-Syafi’i kecil ke bumi Hijaz.[1] Di Hijaz, Asy-Syafi’i kecil hidup di tengah-tengah keluarga ibunya (keluarga Yaman). Di sana pula Asy-Syafi’i kecil belajar Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu agama, sehingga pada usia tujuh tahun beliau telah berhasil menghafalkan Al-Qur’an dengan sempurna (30 juz).
Saat memasuki usia sepuluh tahun, sang ibu khawatir bila nasab mulia anaknya pudar. Maka dibawalah si anak menuju Makkah agar menapak kehidupan di tengah-tengah keluarga ayahnya dari Kabilah Quraisy. Kegemaran beliau pun tertuju pada dua hal: memanah dan menuntut ilmu. Dalam hal memanah beliau sangat giat berlatih, hingga dari sepuluh sasaran bidik, sembilan atau bahkan semuanya dapat dibidiknya dengan baik. Tak ayal bila kemudian unggul atas kawan-kawan sebayanya. Dalam hal menuntut ilmu pun tak kalah giatnya, sampai-sampai salah seorang dari kerabat ayahnya mengatakan: “Janganlah engkau terburu menuntut ilmu, sibukkanlah dirimu dengan hal-hal yang bermanfaat (bekerja)!”
Namun kata-kata tersebut tak berpengaruh sedikitpun pada diri Asy-Syafi’i. Bahkan kelezatan hidup beliau justru didapat pada ilmu dan menuntut ilmu, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepada beliau ilmu yang luas. (Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 51-52, Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 1/22-23)
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu dalam menuntut ilmu
Di Kota Makkah dengan segala panorama khasnya, Asy-Syafi’i kecil mulai mendalami ilmu nahwu, sastra Arab, dan sejarah. Keinginan beliau untuk menguasainya pun demikian kuat. Sehingga setelah memasuki usia baligh dan siap untuk berkelana menuntut ilmu, bulatlah tekad beliau untuk menimba ilmu bahasa Arab dari sumbernya yang murni. Pilihan pun jatuh pada Suku Hudzail yang berada di perkampungan badui pinggiran Kota Makkah, mengingat Suku Hudzail -saat itu- adalah suku Arab yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Dengan misi mulia tersebut Asy-Syafi’i seringkali tinggal bersama Suku Hudzail di perkampungan badui mereka. Aktivitas ini pun berlangsung cukup lama. Sebagian riwayat menyebutkan sepuluh tahun dan sebagian lainnya menyebutkan dua puluh tahun. Tak heran bila di kemudian hari Asy-Syafi’i menjadi rujukan dalam bahasa Arab. Sebagaimana pengakuan para pakar bahasa Arab di masanya, semisal Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri (pakar bahasa Arab di Mesir), Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i (pakar bahasa Arab di Irak), Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi (sastrawan ulung di masanya), dan yang lainnya.[2] (Lihat Tawalit Ta’sis Bima’ali Ibni Idris hal. 53, Al-Bidayah wan Nihayah karya Al-Hafizh Ibnu Katsirrahimahullahu, 10/263, Manaqib Asy-Syafi’i 1/102)
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepada Al-Imam Asy-Syafi’i kecintaan pada fiqh (mendalami ilmu agama). Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi menerangkan bahwa kecintaan Al-Imam Asy-Syafi’i pada fiqh bermula dari sindiran sekretaris ayah Mush’ab. Kisahnya, pada suatu hari Al-Imam Asy-Syafi’i sedang menaiki hewan tunggangannya sembari melantunkan bait-bait syair. Maka berkatalah sekretaris ayah Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi kepada beliau: “Orang seperti engkau tak pantas berperilaku demikian. Di manakah engkau dari fiqh?” Kata-kata tersebut benar-benar mengena pada jiwa Al-Imam Asy-Syafi’i, hingga akhirnya bertekad untuk mendalami ilmu agama kepada Muslim bin Khalid Az-Zanji -saat itu sebagai Mufti Makkah- kemudian kepada Al-Imam Malik bin Anas di Kota Madinah. (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/96)
Upaya menimba berbagai disiplin ilmu agama ditempuhnya dengan penuh kesungguhan. Dari satu ulama menuju ulama lainnya dan dari satu negeri menuju negeri lainnya; Makkah-Madinah-Yaman-Baghdad. Di daerahnya (Makkah), Al-Imam Asy-Syafi’i menimba ilmu dari Muslim bin Khalid Az-Zanji, Dawud bin Abdurrahman Al-Aththar, Muhammad bin Ali bin Syafi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abu Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Iyadh, dan yang lainnya.
Pada usia dua puluh sekian tahun -dalam kondisi telah layak berfatwa dan pantas menjadi seorang imam dalam agama ini- Al-Imam Asy-Syafi’i berkelana menuju Kota Madinah guna menimba ilmu dari para ulama Madinah: Al-Imam Malik bin Anas, Ibrahim bin Abu Yahya Al-Aslami, Abdul Aziz Ad-Darawardi, Aththaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d, dan yang semisal dengan mereka. Kemudian ke negeri Yaman, menimba ilmu dari para ulamanya: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadhi, dan yang lainnya. Demikian pula di Baghdad, beliau menimba ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani ahli fiqh negeri Irak, Ismail bin ‘Ulayyah, Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi, dan yang lainnya. (Diringkas dari Siyar A’lamin Nubala’, 10/6, 7, dan 12)
Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu di mata pembesar umat
Perjalanan Al-Imam Asy-Syafi’i yang demikian panjang dalam menuntut ilmu benar-benar membuahkan keilmuan yang tinggi, prinsip keyakinan (manhaj) yang kokoh, akidah yang lurus, amalan ibadah yang baik, dan budi pekerti yang luhur. Tak heran bila kemudian posisi dan kedudukan beliau demikian terhormat di mata pembesar umat dari kalangan para ahli di bidang tafsir, qiraat Al-Qur’an, hadits, fiqh, sejarah, dan bahasa Arab. Kitab-kitab biografi yang ditulis oleh para ulama pun menjadi saksi terbaik atas itu semua. Berikut ini contoh dari sekian banyak penghormatan pembesar umat terhadap Al-Imam Asy-Syafi’i yang terdapat dalam kitab-kitab tersebut:
Dalam kitab Tahdzibut Tahdzib karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahudisebutkan bahwa:
Al-Imam Abu Zur’ah Ar-Razi rahimahullahu berkata: “Tidak ada satu hadits pun yang Asy-Syafi’i keliru dalam meriwayatkannya.”
Al-Imam Abu Dawud rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i belum pernah keliru dalam meriwayatkan suatu hadits.”
Al-Imam Ali bin Al-Madini rahimahullahu berkata kepada putranya: “Tulislah semua yang keluar dari Asy-Syafi’i dan jangan kau biarkan satu huruf pun terlewat, karena padanya terdapat ilmu.”
Al-Imam Yahya bin Ma’in rahimahullahu berkata tentang Asy-Syafi’i: “Tsiqah (terpercaya).”
Al-Imam Yahya bin Sa’id Al-Qaththan rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berakal dan lebih paham tentang urusan agama daripada Asy-Syafi’i.”
Al-Imam An-Nasa’i rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i di sisi kami adalah seorang ulama yang terpercaya lagi amanah.”
Al-Imam Mush’ab bin Abdullah Az-Zubairi rahimahullahu berkata: “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih berilmu dari Asy-Syafi’i dalam hal sejarah.”
Dalam Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir rahimahullahu terhadap kitab Ar-Risalah karya Al-Imam Asy-Syafi’i (hal. 6) disebutkan bahwa Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Kalau bukan karena Asy-Syafi’i (atas kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, pen.), niscaya kami tidak bisa memahami hadits dengan baik.”
Beliau juga berkata: “Asy-Syafi’i adalah seorang yang paling paham tentang Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Dawud bin Ali Azh-Zhahirirahimahullahu disebutkan: “Telah berkata kepadaku Ishaq bin Rahawaih: ‘Suatu hari aku pergi ke Makkah bersama Ahmad bin Hanbal untuk berjumpa dengan Asy-Syafi’i. Aku pun selalu bertanya kepadanya tentang sesuatu (dari agama ini) dan aku dapati beliau sebagai seorang yang fasih serta berbudi pekerti luhur. Setelah kami berpisah dengan beliau, sampailah informasi dari sekelompok orang yang ahli di bidang tafsir Al-Qur’an bahwa Asy-Syafi’i adalah orang yang paling mengerti tafsir Al-Qur’an di masa ini. Kalaulah aku tahu hal ini, niscaya aku akan bermulazamah (belajar secara khusus) kepadanya’.”
Dawud bin Ali Azh-Zhahiri berkata: “Aku melihat adanya penyesalan pada diri Ishaq bin Rahawaih atas kesempatan yang terlewatkan itu.”
Dalam kitab Manaqib Asy-Syafi’i karya Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu (2/42-44 dan 48) disebutkan bahwa:
Al-Imam Abdul Malik bin Hisyam Al-Mu’afiri rahimahullahu berkata: “Asy-Syafi’i termasuk rujukan dalam bahasa Arab.”
Al-Imam Abdul Malik bin Quraib Al-Ashma’i rahimahullahu berkata: “Aku mengoreksikan syair-syair Suku Hudzail kepada seorang pemuda Quraisy di Makkah yang bernama Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.”
Al-Imam Abu Ubaid Al-Qasim bin Sallam Al-Harawi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i sebagai rujukan dalam bahasa Arab atau seorang pakar bahasa Arab.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullahu berkata: “Perkataan Asy-Syafi’i dalam hal bahasa Arab adalah hujjah.”
Al-Mubarrid rahimahullahu berkata: “Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati Asy-Syafi’i. Beliau termasuk orang yang paling ahli dalam hal syair, sastra Arab, dan dialek bacaan (qiraat) Al-Qur’an.”

Menelusuri prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu

Prinsip keyakinan (manhaj) Al-Imam Asy-Syafi’i sesuai dengan prinsip keyakinan (manhaj) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Untuk lebih jelasnya, simaklah keterangan berikut ini:
a. Pengagungan Al-Imam Asy-Syafi’i terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama yang selalu merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berpegang teguh dengan keduanya. Cukuplah karya monumental beliau, kitab Al-Umm (terkhusus pada Kitab Jima’ul Ilmi dan Kitab Ibthalul Istihsan) dan juga kitab Ar-Risalah menjadi bukti atas semua itu. Demikian pula beliau melarang dari taklid buta. Sebagaimana dalam wasiat beliau berikut ini:
“Jika kalian mendapati sesuatu pada karya tulisku yang menyelisihi Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ambillah Sunnah RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dan tinggalkan perkataanku.”
“Jika apa yang aku katakan menyelisihi hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lah yang lebih utama, dan jangan kalian taklid kepadaku.” (Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472 dan 473)
Al-Imam Al-Muzani rahimahullahu (salah seorang murid senior Al-Imam Asy-Syafi’i) di awal kitab Mukhtashar-nya berkata: “Aku ringkaskan kitab ini dari ilmu Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu serta dari kandungan ucapannya untuk memudahkan siapa saja yang menghendakinya, seiring dengan adanya peringatan dari beliau agar tidak bertaklid kepada beliau maupun kepada yang lainnya. Hal itu agar seseorang dapat melihat dengan jernih apa yang terbaik bagi agamanya dan lebih berhati-hati bagi dirinya.” (Dinukil dari Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/127)
b. Hadits ahad dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Menurut Al-Imam Asy-Syafi’i (dan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah selainnya), tak ada perbedaan antara hadits mutawatir dan hadits ahad dalam hal hujjah, selama derajatnya shahih. Bahkan dalam kitab Ar-Risalah (hal. 369-471), Al-Imam Asy-Syafi’i menjelaskan secara panjang lebar bahwa hadits ahad adalah hujjah dalam segenap sendi agama. Lebih dari itu beliau membantah orang-orang yang mengingkarinya dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Sehingga patutlah bila beliau dijuluki Nashirul Hadits (pembela hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).[3]
c. Tauhid dalam pandangan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy- Syafi’i merupakan sosok yang kokoh tauhidnya. Sangat mendalam pengetahuannya tentang tauhid dan jenis-jenisnya, baik tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah maupun tauhid asma’ wash shifat. Bahkan kitab-kitab beliau merupakan contoh dari cerminan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Di antaranya apa yang terdapat dalam mukadimah kitab Ar-Risalah berikut ini: “Segala puji hanya milik Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, mengadakan gelap dan terang, namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. Segala puji hanya milik Allah yang tidaklah mungkin satu nikmat dari nikmat-nikmat-Nya disyukuri melainkan dengan nikmat dari-Nya pula. Yang mengharuskan seseorang kala mensyukuri kenikmatan-Nya yang lampau untuk mensyukuri kenikmatan-Nya yang baru.[4] Siapa pun tak akan mampu menyifati hakikat keagungan-Nya. Dia sebagaimana yang disifati oleh diri-Nya sendiri dan di atas apa yang disifati oleh para makhluk-Nya. Aku memuji-Nya dengan pujian yang selaras dengan kemuliaan wajah-Nya dan keperkasaan ketinggian-Nya.[5] Aku memohon pertolongan dari-Nya, suatu pertolongan dari Dzat yang tidak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya. Aku memohon petunjuk dari-Nya, Dzat yang dengan petunjuk-Nya tidak akan tersesat siapa pun yang ditunjuki-Nya. Aku pun memohon ampunan-Nya atas segala dosa yang telah lalu maupun yang akan datang, permohonan seorang hamba yang meyakini bahwa tiada yang berhak diibadahi melainkan Dia, seorang hamba yang mengetahui dengan pasti bahwa tiada yang dapat mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari dosa tersebut kecuali Dia. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak diibadahi melainkan Dia semata, dan aku bersaksi pula bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya…”[6]
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat berupaya untuk menjaga kemurnian tauhid. Oleh karena itu, beliau sangat keras terhadap segala perbuatan yang dapat mengantarkan kepada syirik akbar (syirik besar yang mengeluarkan pelakunya dari Islam), seperti mendirikan bangunan di atas kubur dan menjadikannya sebagai tempat ibadah, bersumpah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan sebagainya. (Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i Fi Itsbatil Akidah, 2/517)
Penting untuk disebutkan pula bahwa prinsip Al-Imam Asy-Syafi’i dalam hal tauhid asma’ wash shifat sesuai dengan prinsip Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallamdan para sahabatnya radhiyallahu ‘anhum serta menyelisihi prinsip kelompok Asy’ariyyah ataupun Maturidiyyah.[7] Yaitu menetapkan semua nama dan sifat bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dijelaskan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Menetapkannya tanpa menyerupakan dengan sesuatu pun, dan mensucikan AllahSubhanahu wa Ta’ala tanpa meniadakan (ta’thil) nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Sebagaimana yang dikandung firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan lagi Maha melihat.” (Asy-Syura: 11)
Jauh dari sikap membayangkan bagaimana hakikat sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala(takyif) dan jauh pula dari sikap memalingkan makna sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang sebenarnya kepada makna yang tidak dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (tahrif). Demikianlah prinsip yang senantiasa ditanamkan Al-Imam Asy-Syafi’i kepada murid-muridnya.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Telah diriwayatkan dari Ar-Rabi’ dan yang lainnya, dari para pembesar murid-murid Asy-Syafi’i, apa yang menunjukkan bahwa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut dimaknai sesuai dengan makna zhahirnya, tanpa dibayangkan bagaimana hakikat sifat tersebut (takyif), tanpa diserupakan dengan sifat makhluk-Nya (tasybih), tanpa ditiadakan (ta’thil), dan tanpa dipalingkan dari makna sebenarnya yang dimaukan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (tahrif).” (Al-Bidayah wan Nihayah, 10/265)
d. Permasalahan iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Iman menurut Al-Imam Asy-Syafi’i mencakup ucapan, perbuatan, dan niat (keyakinan). Ia bisa bertambah dengan ketaatan dan bisa berkurang dengan kemaksiatan. Adapun sikap beliau terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) yang meninggal dunia dalam keadaan belum bertaubat darinya, maka selaras dengan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah dan menyelisihi prinsip ahlul bid’ah, dari kalangan Khawarij, Mu’tazilah, maupun Murji’ah. Yaitu tergantung kepada kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala berkehendak untuk diampuni maka terampunilah dosanya, dan jika Allah Subhanahu wa Ta’alaberkehendak untuk diazab maka akan diazab terlebih dahulu dalam An-Nar, namun tidak kekal di dalamnya. (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 2/516)
e. Permasalahan takdir dan Hari Akhir menurut Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Sesungguhnya kehendak para hamba tergantung kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidaklah mereka berkehendak kecuali atas kehendak Allah Rabb semesta alam. Manusia tidaklah menciptakan amal perbuatannya sendiri. Amal perbuatan mereka adalah ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sesungguhnya takdir baik dan takdir buruk semuanya dari Allah ‘Azza wa jalla. Sesungguhnya azab kubur benar adanya, pertanyaan malaikat kepada penghuni kubur benar adanya, hari kebangkitan benar adanya, penghitungan amal di hari kiamat benar adanya, Al-Jannah dan An-Nar benar adanya, dan hal lainnya yang disebutkan dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta disampaikan melalui lisan para ulama di segenap negeri kaum muslimin (benar pula adanya).” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/415)
Ketika ditanya tentang dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala (ru’yatullah) di hari kiamat, maka Al-Imam Asy-Syafi’i mengatakan: “Demi Allah, jika Muhammad bin Idris tidak meyakini akan dilihatnya Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat, niscaya dia tidak akan beribadah kepada-Nya di dunia.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/419)
f. Penghormatan Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Al-Imam Asy-Syafi’i sangat menghormati para sahabat Nabi. Hal ini sebagaimana tercermin dalam kata-kata beliau berikut ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam Al-Qur’an, Taurat, dan Injil. Keutamaan itu pun (sungguh) telah terukir melalui lisan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu keutamaan yang belum pernah diraih oleh siapa pun setelah mereka. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmati mereka dan menganugerahkan kepada mereka tempat tertinggi di sisi para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Merekalah para penyampai ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita. Mereka pula para saksi atas turunnya wahyu kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, mereka sangat mengetahui apa yang dimaukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terkait dengan hal-hal yang bersifat umum maupun khusus, serta yang bersifat keharusan maupun anjuran. Mereka mengetahui Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik yang kita ketahui ataupun yang tidak kita ketahui. Mereka di atas kita dalam hal ilmu, ijtihad, wara’, ketajaman berpikir dan menyimpulkan suatu permasalahan berdasarkan ilmu. Pendapat mereka lebih baik dan lebih utama bagi diri kita daripada pendapat kita sendiri. Wallahu a’lam.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/442)
Demikian pula beliau sangat benci terhadap kaum Syi’ah Rafidhah yang menjadikan kebencian terhadap mayoritas para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallamsebagai prinsip dalam beragama. Hal ini sebagaimana penuturan Yunus bin Abdul A’la: “Aku mendengar celaan yang dahsyat dari Asy-Syafi’i -jika menyebut Syi’ah Rafidhah- seraya mengatakan: ‘Mereka adalah sejelek-jelek kelompok’.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/468)
g. Sikap Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu terhadap kelompok-kelompok sesat
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullahu berkata: “Adalah Asy-Syafi’i seorang yang bersikap keras terhadap ahlul ilhad (orang-orang yang menyimpang dalam agama) dan ahlul bid’ah. Beliau tampakkan kebencian dan pemboikotan (hajr) tersebut kepada mereka.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 1/469)
Al-Imam Al-Buwaithi rahimahullahu berkata: “Aku bertanya kepada Asy-Syafi’i, ‘Apakah aku boleh shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah?’ Maka beliau menjawab: ‘Jangan shalat di belakang seorang yang berakidah Syi’ah Rafidhah, seorang yang berakidah Qadariyyah, dan seorang yang berakidah Murjiah’.” (Lihat Manhaj Al-Imam Asy-Syafi’i fi Itsbatil Akidah, 1/480)
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu berkata: “Tidaklah seorang sufi bisa menjadi sufi tulen hingga mempunyai empat karakter: pemalas, suka makan, suka tidur, dan selalu ingin tahu urusan orang lain.” (Manaqib Asy-Syafi’i, 2/207)
Akhir kata, demikianlah sekelumit tentang kehidupan Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullahu dan prinsip keyakinan (manhaj) beliau yang dapat kami sajikan kepada para pembaca. Seorang ulama besar yang penuh jasa, yang meninggal dunia di Mesir pada malam Jum’at 29 Rajab 204 H, bertepatan dengan 19 Januari 820 M, dalam usia 54 tahun.[8]
Rahimahullahu rahmatan wasi’ah, wa ghafara lahu, wa ajzala matsubatahu, wa askanahu fi fasihi jannatihi. Amin.
Ditulis oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. V/No. 55/1430 H/2009
http://atsarussalaf.wordpress.com/2011/03/19/mengenal-lebih-dekat-al-imam-muhammad-bin-idris-asy-syafi%E2%80%99i/

[1] Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia adalah Makkah, dan sebagian yang lain bukan Makkah.
[2] Lihat perkataan mereka pada sub judul Kedudukan Al-Imam Asy-Syafi’i di mata pembesar umat.
[3] Lihat Manaqib Asy-Syafi’i, 1/472.
[4] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid rububiyah.
[5] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid asma’ wash shifat.
[6] Ungkapan di atas mengandung makna tauhid uluhiyah.
[7] Sungguh mengherankan orang-orang yang sangat fanatik terhadap madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i dalam masalah fiqh, sementara dalam masalah tauhid asma’ wash shifat mereka tinggalkan madzhab beliau yang lurus, kemudian berpegang dengan madzhab Asy’ariyyah atau Maturidiyyah yang sesat.
[8] Lihat Mukadimah Asy-Syaikh Ahmad bin Muhammad Syakir terhadap kitab Ar-Risalah hal. 8.

Imam Asy-Syafi`i Imam Ahlus Sunnah

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi`i”.
NASAB BELIAU
Kunyah beliau Abu Abdillah, namanya Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syaafi’ bin As-Saai’b bin ‘Ubaid bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Al- Muththalib bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai. Nasab beliau bertemu dengan nasab Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pada Abdu Manaf, sedangkan Al-Muththalib adalah saudaranya Hasyim (bapaknya Abdul Muththalib).
TAHUN DAN TEMPAT KELAHIRAN
Beliau dilahirkan di desa Gaza, masuk kota ‘Asqolan pada tahun 150 H. Saat beliau dilahirkan ke dunia oleh ibunya yang tercinta, bapaknya tidak sempat membuainya, karena ajal Allah telah mendahuluinya dalam usia yang masih muda. Lalu setelah berumur dua tahun, paman dan ibunya membawa pindah ke kota kelahiran nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, Makkah Al Mukaramah.
PERTUMBUHANNYA
Beliau tumbuh dan berkembang di kota Makkah, di kota tersebut beliau ikut bergabung bersama teman-teman sebaya belajar memanah dengan tekun dan penuh semangat, sehingga kemampuannya mengungguli teman-teman lainnya. Beliau mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam bidang ini, hingga sepuluh anak panah yang dilemparkan, sembilan di antaranya tepat mengenai sasaran dan hanya satu yang meleset.
Setelah itu beliau mempelajari tata bahasa arab dan sya’ir sampai beliau memiliki kemampuan yang sangat menakjubkan dan menjadi orang yang terdepan dalam cabang ilmu tersebut. Kemudian tumbuhlah di dalam hatinya rasa cinta terhadap ilmu agama, maka beliaupun mempelajari dan menekuni serta mendalami ilmu yang agung tersebut, sehingga beliau menjadi pemimpin dan Imam atas orang-orang
KECERDASANNYA
Kecerdasan adalah anugerah dan karunia Allah yang diberikan kepada hambanya sebagai nikmat yang sangat besar. Di antara hal-hal yang menunjukkan kecerdasannya:
1. Kemampuannya menghafal Al-Qur’an di luar kepala pada usianya yang masih belia, tujuh tahun.
2. Cepatnya menghafal kitab Hadits Al Muwathta’ karya Imam Darul Hijrah, Imam Malik bin Anas pada usia sepuluh tahun.
3. Rekomendasi para ulama sezamannya atas kecerdasannya, hingga ada yang mengatakan bahwa ia belum pernah melihat manusia yang lebih cerdas dari Imam Asy-Syafi`i.
4. Beliau diberi wewenang berfatawa pada umur 15 tahun.
Muslim bin Khalid Az-Zanji berkata kepada Imam Asy-Syafi`i: “Berfatwalah wahai Abu Abdillah, sungguh demi Allah sekarang engkau telah berhak untuk berfatwa.”
MENUTUT ILMU
Beliau mengatakan tentang menuntut ilmu, “Menuntut ilmu lebih afdhal dari shalat sunnah.” Dan yang beliau dahulukan dalam belajar setelah hafal Al-Qur’an adalah membaca hadits. Beliau mengatakan, “Membaca hadits lebih baik dari pada shalat sunnah.” Karena itu, setelah hafal Al-Qur’an beliau belajar kitab hadits karya Imam Malik bin Anas kepada pengarangnya langsung pada usia yang masih belia.
GURU-GURU BELIAU
Beliau mengawali mengambil ilmu dari ulama-ulama yang berada di negerinya, di antara mereka adalah:
1. Muslim bin Khalid Az-Zanji mufti Makkah
2. Muhammad bin Syafi’ paman beliau sendiri
3. Abbas kakeknya Imam Asy-Syafi`i
4. Sufyan bin Uyainah
5. Fudhail bin Iyadl, serta beberapa ulama yang lain.
Demikian juga beliau mengambil ilmu dari ulama-ulama Madinah di antara mereka adalah:
1. Malik bin Anas
2. Ibrahim bin Abu Yahya Al Aslamy Al Madany
3.Abdul Aziz Ad-Darawardi, Athaf bin Khalid, Ismail bin Ja’far dan Ibrahim bin Sa’ad serta para ulama yang berada pada tingkatannya
Beliau juga mengambil ilmu dari ulama-ulama negeri Yaman di antaranya;
1.Mutharrif bin Mazin
2.Hisyam bin Yusuf Al Qadhi, dan sejumlah ulama lainnya.
Dan di Baghdad beliau mengambil ilmu dari:
1.Muhammad bin Al Hasan, ulamanya bangsa Irak, beliau bermulazamah bersama ulama tersebut, dan mengambil darinya ilmu yang banyak.
2.Ismail bin Ulayah.
3.Abdulwahab Ats-Tsaqafy, serta yang lainnya.
MURID-MURID BELIAU
Beliau mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah:
1. Ahmad bin Hanbal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli Fiqih dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin.
2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani
3. Ishaq bin Rahawaih,
4. Harmalah bin Yahya
5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi
6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak sekali.
KARYA BELIAU
Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul Ilmi.
PUJIAN ULAMA PARA ULAMA KEPADA BELIAU
Benarlah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam,
“Barangsiapa yang mencari ridha Allah meski dengan dibenci manusia, maka Allah akan ridha dan akhirnya manusia juga akan ridha kepadanya.” (HR. At-Tirmidzi 2419 dan dishashihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ 6097).
Begitulah keadaan para Imam Ahlus Sunnah, mereka menapaki kehidupan ini dengan menempatkan ridha Allah di hadapan mata mereka, meski harus dibenci oleh manusia. Namun keridhaan Allah akan mendatangkan berkah dan manfaat yang banyak. Imam Asy-Syafi`i yang berjalan dengan lurus di jalan-Nya, menuai pujian dan sanjungan dari orang-orang yang utama. Karena keutamaan hanyalah diketahui oleh orang-orang yang punya keutamaan pula.
Qutaibah bin Sa`id berkata: “Asy-Syafi`i adalah seorang Imam.” Beliau juga berkata, “Imam Ats-Tsauri wafat maka hilanglah wara’, Imam Asy-Syafi`i wafat maka matilah Sunnah dan apa bila Imam Ahmad bin Hambal wafat maka nampaklah kebid`ahan.”
Imam Asy-Syafi`i berkata, “Aku di Baghdad dijuluki sebagai Nashirus Sunnah (pembela Sunnah Rasulullah).”
Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Asy-Syafi`i adalah manusia yang paling fasih di zamannya.”
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Tidak ada seorangpun yang berbicara dengan pendapatnya -kemudian beliau menyebutkan Ats-Tsauri, Al-Auzai, Malik, dan Abu Hanifah,- melainkan Imam Asy-Syafi`i adalah yang paling besar ittiba`nya kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam, dan paling sedikit kesalahannya.”
Abu Daud As-Sijistani berkata, “Aku tidak mengetahui pada Asy-Syafi`i satu ucapanpun yang salah.”
Ibrahim bin Abdul Thalib Al-Hafidz berkata, “Aku bertanya kepada Abu Qudamah As-Sarkhasi tentang Asy-Syafi`i, Ahmad, Abu Ubaid, dan Ibnu Ruhawaih. Maka ia berkata, “Asy-Syafi`i adalah yang paling faqih di antara mereka.”
PRINSIP AQIDAH BELIAU
Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala.
Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya (nama dan sifat Allah) dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,
“Tidak ada yang menyerupaiNya sesuatu pun, dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Dalam masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah kalamulah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”
PRINSIP DALAM FIQIH
Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”
Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi shalallahu a’laihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”
Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”
SIKAP IMAM ASY-SYAFI`I TERHADAP AHLUL BID’AH
Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.”
Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin ‘Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin ‘Ulayyah sesat.”
Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”
PESAN IMAM ASY-SYAFI`I
“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”
WAFAT BELIAU
Beliau wafat pada hari Kamis di awal bulan Sya’ban tahun 204 H dan umur beliau sekita 54 tahun (Siyar 10/76). Meski Allah memberi masa hidup beliau di dunia 54 tahun, menurut anggapan manusia, umur yang demikian termasuk masih muda. Walau demikian, keberkahan dan manfaatnya dirasakan kaum muslimin di seantero belahan dunia, hingga para ulama mengatakan, “Imam Asy-Syafi`i diberi umur pendek, namun Allah menggabungkan kecerdasannya dengan umurnya yang pendek.”
KATA-KATA HIKMAH IMAM ASY-SYAFI`I
“Kebaikan ada pada lima hal: kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari (omongan) manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.
Sumber: Majalah As-Salaam
http://www.darussalaf.or.id/index.php?name=News&file=article&sid=541
About these ads

Berbagi

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More